Category Archives: Ecrasez l’infame

Screw that rotten mind!!

Pria-Pria Bersafari

Kemarin saya dan beberapa teman beranjangsana di Senayan City yang hanya sepelemparan batu dari kampus kami (sepelemparan batu dalam arti denotasi, coba saja. Hehe). Saat sedang berbincang-bincang di Starbucks (nope, saya gak beli, teman saya yang beli, ga kuat bayarnya), tiba-tiba serombongan bapak-bapak bersafari datang dan mengambil tempat persis di sebelah kami. Dalam benak saya terlintas, “Huh…. Birokrat”.

Cukup banyak jumlah orang dalam rombongan tersebut, sekitar 10 orang. Mereka membagi diri dalam 2 meja, yang satu lebih banyak dari yang lain. Meja yang lebih banyak ditempati beberapa bapak-bapak bersafari, dua orang bapak berbaju kasual beretnis Tionghoa, dan seorang bapak paruh baya yang perutnya luar biasa gembul. Meja yang lainnya ditempati kurang lebih 3-4 orang yang salah satunya berperawakan tegap dengan rambut cepak. “This must be the bouncer section“, batin saya.

Teman saya Qoffa langsung berujar, “Wuih, ngeliat orang-orang bersafari gini lg ngumpul-ngumpul, asyik banget kalau tiba-tiba ada 3 Innova tiba-tiba datang terus dari dalam mobil keluar anggota KPK dan menangkapi mereka”. Saya langsung tertawa lebar.

Lalu saya dan Qoffa mengobrol ngalor ngidul kemana-mana soal safari, BIN, KPK, dan entitas pemerintah lainnya. Dari mulai analisa asal-asalan seperti, “Intel ga mungkin pake safari ya. Kan ntar jadi mencolok”, sampe yang mulai-mulai ngaco seperti, “Eh, kita bikin jaket sablonan KPK yo, trus jalan-jalan ke mall sambil naro headset wireless di kuping”.

Tanpa saya sadari rupanya oknum-oknum yang duduk di bouncer section mendengar obrolan saya dengan Qoffa. Mereka diam-diam menyimak obrolan kami. Yang tak mereka tahu adalah (karena saya pengagum Carl Bernstein) bahwa saya juga diam-diam menyimak pembicaraan para pria bersafari di meja sebelahnya (Hehe). Tak banyak yang saya dengar, karena selain mengobrol dan menyimak, perhatian saya juga terbagi kepada sepasang sejoli yang bermesraan di teras Izzi Pizza dengan mesranya layaknya film Prancis (Kalau kata Toby, “Please, get yourselves a room).

Tapi yang saya dengar dengan pasti dan jelas adalah salah seorang yang bersafari berkata, “Kalau sekarang-sekarang jangan pakai telepon deh, lagi ga aman” (Saya tak suka Antasari Azhar, tapi “Hidup KPK!!”).

Saat waktunya untuk cabut dari Starbucks, orang-orang di meja sebelah kami itu menatap kami dengan sorotan mata yang tajam, apalagi yang duduk di bouncer section. Saya hanya ingin tahu ekspresi mereka selanjutnya andaikata kami memang benar-benar orang KPK. Haha.

*Maaf tidak ada foto. Sebenarnya saya berhasil menjepret beberapa, tapi karena hasilnya tidak maksimal, jadi tidak saya sertakan di sini.

Bubarkan FPI!!!!

Sebodo amat blog saya dimaki-maki dan dihina serta diprotes.
Sebodo amat saya ditatap dengan keki.
Sebodo amat dengan semua itu.
Apa yang mereka lakukan benar-benar kelewat batas!
Bubarkan FPI!!!!

Garuda Pancasila, di manakah engkau? Utopia?

Ecrasez l’infame!!!

Pencabutan SIUPP Versi Abad 21

Tak lama setelah pemerintah memerintahkan pemblokiran akses Youtube, UU Keterbukaan Informasi Publik disahkan DPR. Ironis. Apanya yang terbuka bila rakyat dilarang mendapat informasi sesuai dengan yang mereka inginkan? Pemerintah mengkhianati bangsa ini dengan kembali menyebarkan aura “departemen penerangan” khas rezim lampau.

 

Tendensi pemerintah untuk membatasi akses masyarakat kepada informasi sebenarnya telah terendus sejak pemblokiran website porno digadang-gadang. Jika website porno bisa diblok, tidak berbeda dengan website lainnya. Pemerintah mendapat alasan yang tepat untuk memblok Youtube seiring rilis film Fitna di situs video sharing tersebut.

 

Film Fitna dituding dapat menyebabkan keributan antar umat beragama dan memicu disintegrasi. Menurut pendapat pribadi, Fitna tidak lebih sadis dan provokatif dari video-video kerusuhan Ambon dan Poso yang dulu pernah beredar di masyarakat. Memang, Fitna dianggap memojokkan agama tertentu. Tapi pemblokiran akses ke seluruh server youtube sungguh keputusan yang tidak cerdas. Lagi-lagi, Youtube mungkin bukan korban terakhir.

 

Youtube sendiri bukanlah website yang lebih banyak sisi negatif dari positifnya. Seorang teman mengatakan sejak youtube diblok ia tidak lagi bisa menonton ceramah agama yang rutin ia lakukan. Belum lagi bila ditinjau dari dunia seni. Bersama myspace, youtube adalah tulang punggung dunia seni era digital sekarang ini. Bagaimana dengan yang ingin berbagi video dengan sanak saudaranya yang jauh? Mereka tidak bisa lagi melakukannya. Tidak dengan Youtube.

 

Keberadaan Depkominfo yang sejak awal ditakutkan akan menjelma menjadi separti Departemen Penerangan zaman orde baru kembali dipertanyakan. Akankah pemblokiran akses internet akan menjadi versi reformasi dari pencabutan SIUPP? Menkominfo Muhammad Nuh dipandang sebagai Harmoko gaya baru. Kenapa seorang intelektual seperti beliau dapat mengambil tindakan seperti ini? Karena semua kaum intelektual menanggalkan intelektualitasnya begitu mereka memasuki lingkaran setan birokrasi.

 

Negara ini sangat membenci komunis tapi kebijakan yang diambil mirip seperti yang dilakukan Republik Rakyat Cina. Cina memblokir semua website yang mengkritik pemerintah. Bahkan Cina melakukan pembatasan akses sampai kepada Google. Tapi pembatasan yang dilakukan sebatas content filtering. Kenapa Indonesia tidak melakukan hal yang sama terhadap Youtube bila Fitna dianggap mengganggu? Tidak mampukah? Atau tidak ingin?

 

Mayoritas rakyat negeri ini mendaftarkan email addressnya di yahoo. Lalu bayangkan bila suatu hari nanti Yahoo memuat content yang dianggap buruk oleh pemerintah. Akankah pemerintah memblokir Yahoo? Keputusan yang irasional tapi bukan tidak mungkin karena kita hidup di negara yang irasional.

Multi Lies Marketing

Adakah yang lebih menyebalkan sekarang ini daripada didatangi seorang “aktivis” MLM yang hendak melakukan presentasi dalam rangka mencari downline?

 

Saya masih ingat tahun lalu, seorang teman SMA yang mempunyai reputasi seorang entrepreneur menelepon saya. Ia bertanya kapan saya punya waktu, ia ingin berbincang-bincang. Tentu saya sangat senang sekali karena si teman ini tersohor bisa menghasilkan uang dari mana saja, legal mau pun setengah ilegal (yeah!).

 

Esoknya ia menetapkan Gramedia Matraman sebagai meeting point. Sesampai di sana, perasaan saya agak kurang enak melihat ia bersama seorang wanita dengan setelan kemeja putih-celana hitam-tas kerja selempang, seragam kebesaran “aktivis” MLM. Dugaan saya tidak salah, mereka berdua memang mengikuti MLM “T”.

 

Teman saya yang dulunya gemar berwirausaha rupanya tercemplung dalam kolam MLM, di mana air kolam tersebut sudah keruh karena kandungan kotorannya telah mencapai titik jenuh. Ia sekarang menjadi downline dari teman wanitanya yang berseragam kebanggaan seluruh “aktivis” MLM itu.

 

Lalu mereka berdua mulai berkhotbah mengenai Cashflow Quadrantnya Robert Kiyosaki dan bagaimana MLM adalah sebuah implementasi sempurna dari teori tersebut. Saking semangatnya mereka bercerita, saya menduga mereka baru membaca Cashflow Quadrant kurang dari setahun lalu, buku yang sudah saya habis baca pada saat SMP, 7 tahun lalu.

 

Mereka juga menyinggung mengenai jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) yang langka dalam masyarakat Indonesia. Hal yang saya amini namun berbalik jijik saat mereka bersikeras MLM adalah sebuah bentuk wirausaha. Mereka menyajikan fakta bahwa lulusan perguruan tinggi sekarang sulit mencari kerja dan mengklaim bahwa MLM merupakan solusi dari minimnya lapangan kerja! Menakjubkan! (my ass…)

 

Saya tak pernah suka pada MLM sejak kemunculannya di Indonesia. Berapa banyak orang yang telah mencoba MLM dan gagal? Tapi masih ada saja yang ingin mengikuti. Kenapa? Karena MLM sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia: malas. Iming-iming meraih sekian juta per bulan tanpa melakukan apa-apa membuat orang ramai-ramai mendaftarkan diri di berbagai MLM. Setelah sekian bulan belum mendapat hasil apa-apa, akhirnya semangat mengendur dan akhirnya menarik diri. Tapi setoran awal tidak bisa dicabut lagi. Bisa dibayangkan berapa pemasukan MLM dari orang-orang yang menarik diri itu?

 

Seorang anak SD bertanya kepada saya apa definisi MLM. Saya menjawab, “sebuah usaha tipu menipu massal dengan strata bertingkat sesuai dengan jumlah orang yang berhasil ditipu”. Si anak menukas, “kalo pake tipu-menipu, berarti dosa dong?” Saya hanya tertawa melihat jawaban anak yang masih polos itu yang saya harapkan jangan sampai masuk jerat MLM kelak.

 

Satu hal yang saya kagumi dari MLM adalah mereka secara kontinu tidak pernah gagal menipu orang dan selalu saja muncul MLM baru. MLM, apa pun itu, tak ubahnya seperti Multivision, MD, dan produsen sinetron lainnya karena sama-sama menjual mimpi. Mungkin partai politik dan anggota DPR juga bisa digolongkan MLM karena sama-sama menjual mimpi dan mengiming-imingi rakyat dengan perubahan yang nyatanya fiktif.

 

Sebagai penutup, saya ingin mengutip dialog masyhur dari film Quickie Express.

 

Pemburu: “Saya mau bikin jij jadi gigolo.”

Jojo: “Tapi saya ga mau jadi gigolo.”

Pemburu: “Kalo gitu saya punya kerjaan lain buat jij.”

Jojo: “Apaan?”

Pemburu: “Multi-level Marketing.”

Jojo: “Ogah, mending gue jadi gigolo!”

 

*)Kutipan dari Quickie Express ditulis ulang dengan kalimat penulis