Tag Archives: Politik

Mengangkat Cendana, Merangkul Beringin

PARTAI KEADILAN SEJAHTERA TOKOHKAN SOEHARTO

Senin, 10 November 2008 | 19:05 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Tifatul Sembiring menegaskan Soeharto, penguasa Orde Baru, sebagai tokoh yang punya banyak jasa untuk negeri ini. Ia membantah tampilnya sosok Soeharto dalam iklan PKS sebagai pahlawan.

Munculnya mantan presiden yang berkuasa selama 32 tahun dalam iklan untuk menmperingati Hari Pahlawan, di mana Soeharto merupakan bagian dari sejarah. Dalam iklan, terpampang gambar Ir. Soekarno, KH Hasyim Ashyari, Mohammad Nasir, Bung Hatta, Bung Tomo, dan beberapa pahlawan lain. “Sebenarnya di situ (iklan), Soeharto bukan pahlawan,” katanya, Senin (10/11). “Meski pernah berbuat kesalahan, Soeharto juga berbuat berbuat baik untuk bangsa ini.”

Iklan PKS yang ditanyangkan untuk memperingati Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan itu, memang menampilkan sejumlah tokoh besar. Mereka sudah almarhum. Tujuan iklan, kata Tifatul, partainya ingin menampilkan sejarah runtut perjuangan bangsa dari masa awal kemerdekaan hingga masa pembangunan bangsa.

Dia mengakui, sosok Soeharto masih menjadi perdebatan terhadap perjuangan bangsa. “Soeharto bukan pahlawan. Seperti kata Gus Dur (Abdurrahman Wahid), dia (Soeharto) berjasa meski banyak dosanya.”
Iklan itu, kata dia, untuk mengingatkan generasi muda kepada karakter bangsa yang sudah mulai pudar.

“Apalagi mulai 2014, kalangan muda harus bisa memimpin bangsa. Ini momentum yang pas untuk mendorong kaum muda,” katanya. Karena setelah 2014, kata dia, tokoh-tokoh seperti Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono dan Wiranto sudah harus digantikan dengan generasi baru.

Eko Ari Wibowo

PKS oh PKS………

GOLKAR SAMBUT BAIK PENOKOHAN SOEHARTO OLEH PKS

TEMPO Interaktif, Jakarta: Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Agung Laksono, menyambut baik munculnya sosok Soeharto dalam iklan Hari Pahlawan yang diluncurkan Partai Keadilan Sejahtera. Hal itu justru memperkuat usul pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto. “Boleh saja. Itu bagus, berarti mulai banyak yang mendukung, yang kami lakukan benar adanya,” kata Agung.

Menurut Agung, jasa Soeharto untuk pembangunan negeri ini sangat banyak. Meskipun, ada kelompok yang menilai Soeharto tidak layak menerima gelar kepahlawanan, itu wajar dalam hal berbeda pandangan.
“Pak Harto pernah diusulkan Partai Golkar sebagai pahlawan nasional,” katanya. “Namun semua terserah pemerintah.”

Selain itu, kata Agung, juga mengaharapkan agar Rancangan Undang-Undang tentang Pahlawan Nasional segera dibahas. “Rancangan ini sudah menjadi agenda program legislasi nasional diharapkan cepat dibahas,” ujar Agung.

Eko Ari Wibowo

Respek saya kepada PKS telah jauh menurun sejak UU Pornografi. Sekarang sepertinya akan lebih jatuh lagi menghujam karang setelah saya membaca artikel dari Tempo Interaktif di atas.

Apa-apaan?

Dulu saya termasuk yang kagum dengan PKS. Dengan mengusung citra partai reformis bercorak Islami, mereka mampu meraih suara yang besar dalam Pemilu 2004. Untuk tingkat nasional mereka menempati urutan ke-6 suara terbanyak. Untuk DKI Jakarta sendiri, kalau tidak salah mereka berada pada posisi pertama atau kedua (CMIIW).

Bersih dari korupsi dan kolusi adalah gacoan PKS dalam menarik simpati masyarakat. Walau pun sempat tercoreng sedikit gara-gara kasus si walikota Depok yang konon agak serong-serong, secara keseluruhan PKS dipandang lebih “suci” dibanding partai lainnya, bahkan yang sama-sama mengusung ideologi agama sekali pun.

Saya sendiri sudah pernah menyaksikan bagaimana kinerja mesin PKS secara langsung. Kebetulan pasca tsunami Aceh, saya sering main-main ke kantor DPP PKS di Buncit untuk mencari bahan tulisan. Karung-karung bantuan bertumpuk sehingga membentuk gunungan yang meluber sampai ke jalan.  Siap untuk dikirimkan ke NAD. Sejujurnya, PKS sangat menarik perhatian saya ketika itu.

Dengan ditayangkannya iklan “penokohan” Sue Harto tersebut, telah jelas sekarang berdiri di sisi yang mana PKS. Sejak dahulu, apalagi pasca mangkatnya presiden RI ke-2 tersebut, Golkar mengajukan usul untuk mengangkat The Smiling (and Killing) General sebagai pahlawan nasional. Entah dugaan ini benar atau tidak, tapi PKS menyatakan kepada Beringin bahwa mereka ingin sekali berada di lembar halaman yang sama dalam sebuah buku berita berjudul “PEMILU 2009”.

Mengenai merebaknya kembali wacana pengangkatan Sue Harto sebagai Pahlawan Nasional, seperti yang pernah saya tulis di sini, pahlawan nasional harus diakui dan diterima seluruh masyarakat secara bulat tanpa adanya penolakan sedikit pun. Pertanyaannya, diterimakah ia secara bulat?

Urusan Soeharto sebagai idola, panutan, role-model adalah urusan pribadi masing-masing orang. Komeng atau Tukul pun bisa dijadikan idola. Tapi pahlawan nasional adalah urusan sebuah bangsa bung! Seorang pahlawan nasional harus diakui secara bulat oleh rakyat.

Pikiran Usang

Entah karena menjelang tanggal 30 September atau karena apalah, tadi saya menonton Forum Indonesia Raya di TVRI (ngapain juga gue ya gue nongkrongin channel ini, Olimpiade udah selesai) dan mendapati sebuah diskusi yang membahas mengenai berkembangnya paham komunisme baru di Indonesia. (Capek deh…..).

Bahaya laten komunis, begitu slogan khas si Eyang untuk menyelimuti seluruh rakyat Indonesia dengan ketakutan dan sebagai justifikasi dari segala tindakan represif yang mengikutinya. Sampai sekarang slogan usang itu masih sering didengung-dengungkan oleh barisan has been yang tidak kuasa menahan arus bawah yang progresif. Kata rekan saya, Serenada Iblis, bahaya laten fasisme yang berkedok agama dan nasionalisme semu sebenarnya lebih berbahaya (dan lebih kasat mata. Tapi semua orang pura-pura tidak tahu).

Komunis sudah mati, kamerad. Segala sesuatu yang berhubungan dengan palu dan arit adalah sekedar romantisme. Kadar romantisme yang serupa dengan mereka yang mengidamkan kembali ke masa orde baru. Hanya orang super dungu (dan mereka yang sedang gemar masturbasi intelektualitas karena baru membaca Das Kapital) yang ingin hidup dalam sebuah negara komunis.

Lho, Pang, bukannya anda sering berkoar-koar tentang nasionalisasi tambang energi dan segala mimpi-mimpi lainnya yang tidak menjejak bumi?

Sejak kapan nasionalisasi berarti komunis? Itu adalah pikiran yang picik. Sama seperti pria-pria berseragam yang selalu curiga dengan segala aktivitas organisasi buruh, pekerja, dan petani. Bukankah hak berserikat dilindungi oleh konstitusi? Mengapa penipu, maling, dan pembunuh boleh berorganisasi sedang pekerja dan petani tidak?

Rekan saya yang lainnya, Quatro Matic, menceritakan anekdot kisah nyata tentang bagaimana sebuah serikat buruh diharuskan mencantumkan kata Pancasila di belakang sebagai tanda bahwa mereka bukanlah sebuah organisasi Marxis. Konyol dan ironis, karena sepengetahuan saya sebuah organisasi massa dengan paramiliter dan bercorak premanisme juga memakai embel-embel Pancasila.

Kembali kepada Forum Indonesia Raya TVRI yang lucu itu, seorang pejabat Depdagri menyarankan seyogianya semua partai politik memakai pancasila sebagai azas dan ideologi. Lalu bagaimana dengan partai berbasis agama? Si bapak dengan perut gendut itu (semoga gendut akibat uang halal) mengatakan bahwa partai berbasis agama berarti mengamalkan sila pertama dari Pancasila: Ketuhanan yang Maha Esa. Wah, lucu sekali. Bagaimana bila PRD dan Papernas mengklaim mereka mengamalkan sila kelima dari Pancasila: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia?

Bahaya laten komunis sudah kadaluarsa. Komunisme telah almarhum. Komunisme hanyalah lelucon yang terlontar dari remaja-remaja tanggung yang terkadang tidak bisa membedakan wajah Karl Marx dan Sigmund Freud. Jadi mengapa masih takut?

Demokrasi terlalu mudah terdistorsi. Komunisme adalah nonsense. Kebebasan satu-satunya hal yang masih dipercaya. Jangan usik kebebasanku!

PS: Sebodo amat comment di blog laknat ini lagi seret…. kejam kalian semua…. =D