Lingua Franca Nusantara

Beberapa bulan lalu gue membeli sebuah properti berharga, thesaurus bahasa Indonesia seharga 100ribuan (entah berapa tepatnya, beda sama beli baju, gue ga pernah mikirin harga buku). Penyusunnya Eko Endarmoko Sebuah kitab pamungkas untuk para penggemar tulis menulis (baca membaca juga sih… klo ada orang sotoy kaya gue pake kata-kata tak lazim yang baca kan repot juga). Tapi waktu para kerabat melihat keberadaan buku tersebut dan mengetahui rupiah yang harus dibayarkan untuk menebusnya, mereka tidak percaya bahwa gue akan menghabiskan sekian ratus ribu untuk membeli buku yang mereka bilang (cuma) “kamus”.

“ngapain sih elo beli kamus aja mahal-mahal?”, ujar mereka sewot (sebenarnya mereka ga berhak sewot. Lemak di tubuh saja menggumpal, tanda hidup tak kekurangan).

Gue bilang kalau ini buku adalah kitab suci, tidak hanya untuk para penulis dan pengarang, tapi juga para penutur bahasa Indonesia.

“Bahasa Indonesia? Idih, ngapain, sekarang mah mendingan bagusin aja bahasa Inggris atau kalau lebih, bahasa Mandarin”

“Narrow minded cunts”, batin gue waktu itu.

Gue ga bilang bahasa inggris gue jago, tapi udah lumayan lah. Bisa multi accent lagi. Cuma dua sih, american sama afro american. (Ga akan pernah bener” jago dan fasih sampe gue berada dalam lingkungan yang mengharuskan gue ngomong Inggris setiap hari setiap saat, dan itu berarti gue tinggal di luar negeri. I wish!! hehe). Gue juga lagi tahap belajar mandarin. Jadi gue sudah mendalami bahasa-bahasa internasional. Tapi bagaimana Bahasa Indonesia?

Gue tau bahasa Indonesia dari segi tata bahasa dan struktur sangat jelek. Bahkan tidak ada bentuk lampau. Hal tersebut menjadikan bahasa Indonesia seperti bahasa yang mudah dan tidak berkelas. Gue akui sih, gmana mau berkelas kalau para penutur bahasa Indonesia di luar negeri cuma TKI yang notabene ditindas majikannya? Atau para warga Indonesia pelarian di Amerika yang menganggap, “ga apa-apa cebokin manula, yang penting mandi dollar”.

Padahal bukan di situ kekuatan bahasa Indonesia. Daya tarik dan kekuatan bahasa Indonesia bukan pada tata bahasa struktural, tapi pada perbendaharaan kata. Memang kalau dibandingkan dengan bahasa Inggris, bahasa Indonesia kalah kaya. Tapi dari sedikit kosakata Indonesia tersebut, hanya secuil yang kita gunakan sehari-hari.

Coba kita lihat nama blog gue ini, Aksara dan aksioma. Aksara bersinonim dengan huruf. Tapi berapa banyak coba yang lebih sering make kata “aksara” daripada “huruf”, gue rasa di Jakarta ga ada. Ga tau kalau di daerah lain. Yang kedua, aksioma. Beberapa dari anda mungkin akan mulai menggelorakan pikiran anda untuk mencari tahu apa arti dari “aksioma”. Beberapa yang lain beranggapan bodo amat, ga penting. Beberapa yang lain lagi menggumam, “emang elo kira gue segitu bego, nge?”.

Berapa dari anda yang sering memakai kata “ejawantah” serta imbuhan-imbuhannya? Atau berapa dari anda yang tahu kalo kata dasar dari “Kecelakaan” bukanlah “Celaka”, tetapi “Laka”? Atau buat teman-teman gue yang advent, yang dulu pas kecil nyanyi “sekolah sabat selesai sekarang ke gereja. Tabik…. Tabik….”, berapa dari anda yang paham arti kata tabik?

Bahasa Indonesia itu kaya, bung! Lebih kaya dari yang anda bayangkan dan yang anda pernah tahu. Anda yang enggan memikirkan apa yang gue sampaikan, pasti tetap berpikir, merupakan kesia-siaan membeli “kamus” seharga sekian ratus ribu.

Dasar pandir, itu bukan kamus, itu thesaurus!!!

Ecrasez l’infame!!!

2 responses to “Lingua Franca Nusantara

  1. gw sampe sekarang masih bingung mencari padanan kata untuk website dalam bahasa Indonesia. Mungkin kata “laman”, tapi menurut gw kyknya kurang sreg di dengarinya. Sedangkan kalau kita pake kata situs, sering rancu dengan penggunaan situs dalam pengeritan”situs purbakala”.

    cmiiw

  2. gw cari ah tuh thesaurus…infonya bagus…tenkyu…

Leave a comment